Tuesday, September 15, 2015

Artikel Opini


KORUPSI YANG MEMBUDAYA DI INDONESIA
Oleh : Asti Katrina Alfiani
Tulisan ini merupakan  asumsi mengenai “Korupsi yang membudaya di Indonesia”. Politik di Indonesia pada masa sekarang tengah dilanda masalah institusional yaitu korupsi. Korupsi adalah tindakan yang merugikan bagi masyarakat karena mengutamakan kepentingan pribadi . Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan “korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan msyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.” BPKP ( dikutip dari Riant dan Tri 2005). Korupsi telah menjadi penyakit terbesar disistem birokrasi Indonesia, bukan hanya itu Nepotisme dan Kolusi pun ikut merajai dunia politik Indonesia.
Namun, Al. Andang L. Binawan (2006, p. 13) menyebutkan bahwa korupsi yang berasal dari kata Corruptio bahasa yunani sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filsuf kuno, tetapi  kata korupsi yang dipakai pada zaman dahulu mengartikan korupsi sebagai sebuah pergeseran, baru sekarang ini korupsi dikaitkan dengan kekuasaan dan uang. Kekuasaan merupakan hal yang paling utama terjadinya korupsi, selain keinginan dan peluang ( Riant dan Tri 2005). Seseorang yang mempunyai kekuasaan tinggi akan dengan mudah melakukan korupsi apabila peluang juga sangat mendukung tindakan tersebut.
Korupsi dikatakan membudaya karena korupsi sudah ada sejak zaman dulu, dari masa kepemimpinan Soekarno, Soeharto hingga sekarang.
Riant dan Tri (2005) menjelaskan Soekarno jatuh dari jabatannya sebagai presiden dengan meninggalkan bekas kasus korupsi yang menyolok di kehidupan public. Ketika rezim orde baru berkuasa Soeharto mampu meminimalisir bahkan menghilangkan korupsi, tetapi pada akhir kekuasaannya pun Soeharto akhirnya jatuh pada masa reformasi karena kasus korupsi yang lebih merajalela lagi. Habibie yang juga masih menjadi bayang-bayang Soeharto pun tidak bisa menghasilkan kekuasaan yang lebih bersih.
Pada masa sekarang, masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyon korupsi jauh lebih marak dan nampaknya sudah menjadi kasus yang biasa. Pejabat tinggi Negara sudah tidak malu lagi melakukan korupsi bahkan ketika seorang petinggi Negara tertangkap KPK rasa nampaknya rasa malu yang ada pada dirinya sudah tetutup oleh hawa nafsu yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan ketika mereka harus mengorbankan rakyat dan tidak mempedulikan mereka. Hal ini sesuai dengan teori konflik yang memaparkan bahwa seringkali kelompok kuat yang selalu berusaha meningkatkan dan mempertahankan kedudukan mereka, meskipun mereka harus mengorbankan kelompok lain yang lebih lemah dari mereka ( Sunyoto Usman 2004).
Bahkan, Presiden Wahid punya seloroh ( Riant dan Tri 2005) bahwa “ di zaman orde lama, orang takut korupsi, sehingga korupsi dilakukan dibawah meja. Di zaman orde baru orang berani korupsi, sehingga korupsi dilakukan diatas meja. Di zaman reformasi lebih gila lagi, mejanya pun dikorupsi.”
Ketika seorang pejabat Negara mempedulikan orang lain, orang lain yang dipedulikannya itu tak lain adalah keluarganya sendiri, sehingga dalam politik Indonesia sekarang muncullah sebuah politik dinasti. Politik dinasti sebenarnya sudah muncul sejak zaman sebelum reformasi, contohnya pada rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto.
George Junus Aditjondro (2006) menceritakan sebuah regenerasi Korupsi pada masa kepemimpinan Soeharto. Menurutnya gelombang korupsi yang terbentuk antara keluarga Soeharto dengan pemerintah terbagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama merupakan saudara-saudara lelaki, para keponakan dan saudara-saudara ipar Soeharto di perusahaan yang didirikan selama satu decade pertama Soeharto berkuasa. Anak anak kandung Soeharto ikut terlibat tetapi masih dalam penanaman saham pasif. Selanjutnya, gelombang kedua dimulai pada pertengahan tahun 1970-an hingga 1980-an ketika anak-anak Soeharto mulai ingin menjadi pemegang saham aktif atas bisnis-bisnis Soeharto. Gelombang ketiga adalah fase free-for-all dalah fase pada akhir tahun 1980-an saat keluarga Soeharto ikut andil dalam penjarahan ini.
Politik dinasti yang erat kaitannya dengan kasus-kasus suap dan kasus korupsi terjadi di Indonesia karena kebudayaan Indonesia dengan sistem keluarga besar atau extended family yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan salah seorang anggota keluarga harus dinikmati pula oleh keluarga yang lain, pendapat tersebut dikemukakan oleh Prof. Toshiko Kinoshita, kepada presiden Megawati. Kompas 2 April 2002 ( dikutip dari Riant dan Tri 2005 ).
Akhirnya, korupsi sekarang dilihat sebagai masalah yang dianggap biasa dan sepele padahal sebenarnya korupsi mempunyai dampak yang begitu besar bagi kehidupan ekonomi maupun sosial. Dampak ekonomi adalah mutu pembangunan yang rendah dan daya saing yang rendah.
UNDP ( dikutip dari Riant dan Tri 2005) menyebutkan “Korupsi juga menyebabkan mutu pembangunan manusia Indonesia berada pada ranking 111, setingkat di atas  Vietnam, tetapi jauh di bawah Negara-negara tetangga Asia Tenggara, dan bahkan di wilayah Srilanka. Korupsi juga menyebabkan Negara ini pun mempunyai daya saing yang rendah, bahkan disbanding Negara tetangganya di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Laporan World Competitiveness Report yang dirilis bulan mei 2005 menunjukkan, 60 negara yang disurvei Indonesia berada pada rangking yang ke-59 (setingkat dengan Venezuela).”
Dampak sosial yang terjadi adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Masyarakat cenderung memiliki partisipasi pasif daripada patrisipasi aktif, karena apabila yang terjadi ketika masyarakat berpartisipasi aktif, pendapat mereka akan memebentur meja kekuasaan yang sulit ditembus oleh masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan, seperti yang disebutkan George (2006) bahwa perjuangan mahasiswa di Trisakti, Semanggi dan tempat-tempat lainnya hanya bisa gigit jari, sebab apa mereka perjuangan pada masa gerakan pro-reformasi tidak pernah menjadi kenyataan. Sedangkan, partisipasi pasif yang memiliki kegiatan melaksanakan dan menerima keputusan pemerintah ( Ramlan Subakti 2010). Partisipasi tersebut merupakan partisipasi yang terjadi pada masa sekarang ini, karena banyak masyarakat yang dikuasai oleh kekuasaan para pejabat tinggi negara dan hanya bisa menerima.
Korupsi pada masa sekarang ini terjadi karena kekuasaan yang berlebihan dan keserakahan, hal tersebut ditegaskan oleh asumsi Lord Acton ( dikutip dari Revrisond Baswir 2002) “kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang berkuasa secara absolute, akan korup secara absolute pula.”
Penyebab lain yang menjadi salah satu akar permasalahan Indonesia sebagai Negara berkembang adalah kemiskinan Pope ( dikutip dari Riant dan Tri 2005). Kemiskinan membuat pegawai pemerintah melakukan apapun untuk menambah penghasilan demi menyelamatkan keluarganya (Riant dan Tri 2005). Kemiskinan membuat tindakan korupsi menjadi hal lumrah bagi semua kalangan, kaya maupun miskin. Orang kaya ingin tetap mempertahankan stratanya sedangkan orang miskin berusaha melakukan mobilisasi dengan korupsi juga.
Kajian Rifki Mina ( dikutip dari Riant dan Tri 2005) mengungkap bahwa pihak militer Indonesia mempunyai bisnis yang memiliki kekayaan US$8. Sedangkan rakyat kecil yang berada dikelas bawah tidak segan-segan menyuap pemerintah untuk mendapatkan pelayanan dan pekerjaan. Contohnya adalah ketika seseorang ingin melamar pekerjaan menjadi pegawai negeri sipil, ia tak bingung lagi kemana ia harus menyuap agar dapat bekerja sebagai pegawai negeri.
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah mendapat peraturan perundang-undangan untuk menindak lanjut dan mempidana pelanggar sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi. Sejarahnya berawal dari dikeluarkannya UU nomor 24 Prp. 1960, kemudian diperbaharui dan dikeluarkanlah UU nomor 3 tahun 1970 dan untuk memperkuat undang-undang tersebut, dikeluarkan juga UU nomor 11 tahun 1980. Setelah itu diperbaharui lagi menjadi UU nomor 31 tahun 1999 ( Romli Atmasasmita 2002).
Tetapi, pembuatan perundang-undangan tidak cukup untuk memberantas korupsi tanpa adanya ditegakkannya hukum secara adil. Hukum di Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Contohnya, ketika Arlita Suryani terbukti melakukan korupsi dan ia di pidana, tetapi didalam hotel bui diberi fasilitas yang mewah. Seharusnya perlakuannya harus sama dengan narapidana yang lain ( I Pramono 2010).
Hukum menjadi tajam kebawah ketika kasus menjerat rakyat kecil. Contoh kasusnya adalah ketika tiga orang petani mencuri 12 ranting pohon mahoni milik perhutani, mereke dilaporkan ke kepolisian dan langsung di tahan (Mahbub Djunaidy  2013). Kasus tersebut sepele, tetapi ketika sebuah kasus sepele dilakukan oleh rakyat kecil kasus tersebut menjadi besar. Namun, kasus besar yang menjerat para pejabat tinggi bisa dianggap sepele. Apabila pejabat melakukan korupsi hukum yang bertindak tidak cepat tanggap, harus melalui sidang-sidang yang panjang. Bahkan, sering terdakwa berdalih sakit apabila akan digelar sidang. Misalnya, kasus Sherly yang berdalih sakit ketika akan disidang karena kasus korupsinya ( Yohanes Seo 2012). Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan antara rakyat kecil dengan kaum petinggi Negara. Maka dari itu hukum harus ditegakkan untuk memberantas korupsi.
Memberantas korupsi bukan hal yang mudah karena korupsi di Indonesia sudah terjadi secara sistematis, meluas dan melembaga pada seluruh lapisan masyarakat baik eksekutif, legislative dan yudikatif. Selain itu korupsi di Indonesia sudah bukan lagi termasuk kejahatan yang biasa (ordinary crime) tetapi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime). Sehingga, perlu upaya yang dilakukannya pun harus dengan instrument hukum yang ekstra pula (ekstra ordinary legal instrument), selama peraturan tersebut masih dapat berlaku secara legal dan universal ( M. Nur Kasim 2012).
Upaya penegakkan hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya kesadaran dari masing-masing individu bahwa korupsi merupakan sebuah nilai yang buruk dan merupakan sebuah kejahatan.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara penanaman  nilai di dunia pendidikan baik secara formal maupun nor formal. Tentu saja pendidikan anti korupsi harus diimbangi dari perilaku anti korupsi pendidiknya dan lembaga pendidikannya sendiri. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara penanaman nilai keagaaman yang lebih lagi pada tiap-tiap individu (Riant dan Tri 2005).
Korupsi di Indonesia merupakan salah satu penyakit yang paling berat yang dialami Indonesia. Korupsi sudah berakar dan membudaya dari zaman orde lama, orde baru hingga reformasi, untuk memberantasnya pun tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Teori teori Syed Hussein Alatas, William Chambliss, dan Milovan Djilas ( dikutip dari George 2006) yang digunakan George untuk mengkategorikan korupsi pada rezim Soeharto, korupsi dibagi menjadi tiga lapis. Korupsi lapis pertama adalah yang meliputi interaksi langsung antara warga dan aparatur Negara, contohnya adalah suap. Korupsi lapis kedua adalah lingkaran dalam pemerintahan yang meliputi nepotisme, kronisme dan kelas baru. Korupsi lapis ketiga adalah korupsi mengenai keputusan pembuatan kebijakan.
Pada prinsipnya, korupsi itu seperti “air” mengalir kemana-mana dan tidak dapat ditangkal dengan satu cara (Riant dan Tri 2005). Korupsi membutuhkan banyak upaya yang ekstra untuk membersihkannya dari sistem birokrasi di Indonesia, apalagi korupsi merupakan sebuah kasus tertua yang sudah ada sejak rezim rezim sebelum reformasi bahkan korupsi sudah ada sejak zaman belanda menduduki Indonesia. M. C. Ricklefs (2005) menyatakan J. Frederik Baron van Reede tot de Parkeler, seorang residen Belanda di Surakarta, merupakan pejabat paling korup sepanjang sejarah VOC, karena semua harta milik Mangkunegara II disita olehnya.
Berabad-abad korupsi menjadi sebuah kasus yang meluas, hingga sekarang korupsi nampaknya menjadi kasus yang mengerikan, namun, dianggap lumrah karena terlalu luasnya dan terlalu biasanya orang melakukan tindak kejahatan berupa korupsi, hingga nepotisme dan kolusi. Jika ditarik benang merah dari zaman penjajahan, orde lama, dan orde baru, sampai reformasi korupsi seperti kebudayaan yang turun temurun dari masa ke masa. Faktor penyebabnya pun hampir sama yaitu kekuasaan, kemiskinan, dan keserakahan. Korupsi yang sudah menjadi hiasan yang biasa bagi Indonesia sebisa mungkin harus segera diminimalisir dengan pencegahan-pencegahan yang ekstra guna mewujudkan politik yang bersih dan adil.
Meskipun korupsi juga tidak akan hilang bagi Negara-negara maju, kaya dan teknik adsministrasinya sudah baik, seperti yang dinyatakan Giuseppe “Joetheboss” Masseria (dikutip dari Riant dan Tri 2005) bahwa “no politician, no law can not be bought. Everybody has a price. Power, money, women.”  Tetapi, korupsi tetap korupsi dan tetap merupakan sebuah kejahatan yang harus diperangi. Walaupun pertempuran itu seperti berperang melawan Hydra, ular dengan Sembilan kepala. Apabila satu kepala dipangkas, muncul dua kepala baru, untuk mengalahkannya harus dengan cara Hercules yang membunuh langsung Sembilan kepala Hydra (Riant dan Tri 2005).
Sesulit apapun korupsi diberantas, masih ada cara untuk memberantasnya, masih ada sang Hercules yang bisa mengalahkan Hydra yang diibaratkan sebagai korupsi. Mungkin sekarang Hercules yang diibaratkan KPK dan rakyat dewa Zeus sedang berlatih untuk terus mencari cara agar menang berperang melawan sang Hydra. Hingga akhirnya, Hydra terkalahkan dan Dewa Zeus yang diibaratkan Indonesia dapat sembuh dari bisa racun sang Hydra.



DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George J, 2006, Korupsi Kemanusiaan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, Yogyakarta : LKis Yogyakarta.
Atmasasmita, Ramli, 2002, Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia,Vol.1, pp. 2-3. http://www.jurnal.fhunla.ac.id. Diakses tanggal 2 November 2013,
Baswir, Revrisond, 2002, Dinamika Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Struktural, Vol. 2, pp. 3. http://www.paramadina.ac.id. Diakses tanggal 2 November 2013,
Binawan, Al. Andang L, (Ed, 2006, Korupsi Kemanusiaan, Jakarta : Penerbit Buku Kemanusiaan.)
Djunaidy, Mazhub, 2013, Tiga Petani Ditahan Gara-gara Ranting Mahoni, Tempo 16 Januari 2013 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/01/16/058454674/Tiga-Petani-Ditahan-Gara-gara-Ranting-Mahoni tangga 2 November 2013.
M. Kasim, Nur, 2012, Politik Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Vol. 9, pp. 10-11. http://www.ejurnal.ung.ac.id. Diakses tanggal 2 November 2013,
Nugroho D, Riant dan Tri Hanurita S, 2005, Tantangan Indonesia, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Pramono, I, Penjara Mewah Artalyta Terungkap Berkat Laporan Warga, Tempo 11 Januari 2010 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2010/01/11/063218341/Penjara-Mewah-Artalyta-Terungkap-Berkat-Laporan-Warga tanggal 2 November 2013
Ricklefs, M.C, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.
Seo, Yohanes, 2012, Terdakwa Korupsi Berdalih Sakit, Hakim Marah, Tempo 12 Juli 2012 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/07/12/063416545/Terdakwa-Korupsi-Berdalih-Sakit-Hakim-Marah tanggal 2 November 2013.
Surbakti, Ramlan, 2012, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo.
Usman, Sunyoto, 2004, Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodelogi, Yogyakarta : CIRED.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Thanks All Buat Komentar Kalian. No Spam, No Sara, No etc.
"Best Moment, Best Blogging, Best actualities"
Blog Ini Dofollow, Jadi bijaklah dalam berkomentar

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home