Artikel Opini
KORUPSI
YANG MEMBUDAYA DI INDONESIA
Oleh
: Asti Katrina Alfiani
Tulisan
ini merupakan asumsi mengenai “Korupsi
yang membudaya di Indonesia”. Politik di Indonesia pada masa sekarang tengah
dilanda masalah institusional yaitu korupsi. Korupsi adalah tindakan yang
merugikan bagi masyarakat karena mengutamakan kepentingan pribadi . Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan “korupsi sebagai
tindakan yang merugikan kepentingan umum dan msyarakat luas demi keuntungan pribadi
atau kelompok tertentu.” BPKP ( dikutip dari Riant dan Tri 2005). Korupsi telah
menjadi penyakit terbesar disistem birokrasi Indonesia, bukan hanya itu
Nepotisme dan Kolusi pun ikut merajai dunia politik Indonesia.
Namun,
Al. Andang L. Binawan (2006, p. 13) menyebutkan bahwa korupsi yang berasal dari
kata Corruptio bahasa yunani
sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filsuf kuno, tetapi kata korupsi yang dipakai pada zaman dahulu
mengartikan korupsi sebagai sebuah pergeseran, baru sekarang ini korupsi
dikaitkan dengan kekuasaan dan uang. Kekuasaan merupakan hal yang paling utama
terjadinya korupsi, selain keinginan dan peluang ( Riant dan Tri 2005).
Seseorang yang mempunyai kekuasaan tinggi akan dengan mudah melakukan korupsi
apabila peluang juga sangat mendukung tindakan tersebut.
Korupsi
dikatakan membudaya karena korupsi sudah ada sejak zaman dulu, dari masa
kepemimpinan Soekarno, Soeharto hingga sekarang.
Riant
dan Tri (2005) menjelaskan Soekarno jatuh dari jabatannya sebagai presiden
dengan meninggalkan bekas kasus korupsi yang menyolok di kehidupan public.
Ketika rezim orde baru berkuasa Soeharto mampu meminimalisir bahkan
menghilangkan korupsi, tetapi pada akhir kekuasaannya pun Soeharto akhirnya
jatuh pada masa reformasi karena kasus korupsi yang lebih merajalela lagi.
Habibie yang juga masih menjadi bayang-bayang Soeharto pun tidak bisa
menghasilkan kekuasaan yang lebih bersih.
Pada
masa sekarang, masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyon korupsi jauh
lebih marak dan nampaknya sudah menjadi kasus yang biasa. Pejabat tinggi Negara
sudah tidak malu lagi melakukan korupsi bahkan ketika seorang petinggi Negara
tertangkap KPK rasa nampaknya rasa malu yang ada pada dirinya sudah tetutup
oleh hawa nafsu yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan ketika
mereka harus mengorbankan rakyat dan tidak mempedulikan mereka. Hal ini sesuai
dengan teori konflik yang memaparkan bahwa seringkali kelompok kuat yang selalu
berusaha meningkatkan dan mempertahankan kedudukan mereka, meskipun mereka
harus mengorbankan kelompok lain yang lebih lemah dari mereka ( Sunyoto Usman
2004).
Bahkan,
Presiden Wahid punya seloroh ( Riant dan Tri 2005) bahwa “ di zaman orde lama,
orang takut korupsi, sehingga korupsi dilakukan dibawah meja. Di zaman orde baru orang berani korupsi, sehingga
korupsi dilakukan diatas meja. Di
zaman reformasi lebih gila lagi, mejanya
pun dikorupsi.”
Ketika
seorang pejabat Negara mempedulikan orang lain, orang lain yang dipedulikannya
itu tak lain adalah keluarganya sendiri, sehingga dalam politik Indonesia
sekarang muncullah sebuah politik dinasti. Politik dinasti sebenarnya sudah
muncul sejak zaman sebelum reformasi, contohnya pada rezim orde baru yang
dipimpin oleh Soeharto.
George
Junus Aditjondro (2006) menceritakan sebuah regenerasi Korupsi pada masa
kepemimpinan Soeharto. Menurutnya gelombang korupsi yang terbentuk antara
keluarga Soeharto dengan pemerintah terbagi menjadi tiga gelombang. Gelombang
pertama merupakan saudara-saudara lelaki, para keponakan dan saudara-saudara
ipar Soeharto di perusahaan yang didirikan selama satu decade pertama Soeharto
berkuasa. Anak anak kandung Soeharto ikut terlibat tetapi masih dalam penanaman
saham pasif. Selanjutnya, gelombang kedua dimulai pada pertengahan tahun
1970-an hingga 1980-an ketika anak-anak Soeharto mulai ingin menjadi pemegang
saham aktif atas bisnis-bisnis Soeharto. Gelombang ketiga adalah fase free-for-all dalah fase pada akhir tahun
1980-an saat keluarga Soeharto ikut andil dalam penjarahan ini.
Politik
dinasti yang erat kaitannya dengan kasus-kasus suap dan kasus korupsi terjadi
di Indonesia karena kebudayaan Indonesia dengan sistem keluarga besar atau extended family yang mempunyai nilai
bahwa kesuksesan salah seorang anggota keluarga harus dinikmati pula oleh
keluarga yang lain, pendapat tersebut dikemukakan oleh Prof. Toshiko Kinoshita,
kepada presiden Megawati. Kompas 2 April 2002 ( dikutip dari Riant dan Tri 2005
).
Akhirnya,
korupsi sekarang dilihat sebagai masalah yang dianggap biasa dan sepele padahal
sebenarnya korupsi mempunyai dampak yang begitu besar bagi kehidupan ekonomi
maupun sosial. Dampak ekonomi adalah mutu pembangunan yang rendah dan daya
saing yang rendah.
UNDP
( dikutip dari Riant dan Tri 2005) menyebutkan “Korupsi juga menyebabkan mutu
pembangunan manusia Indonesia berada pada ranking 111, setingkat di atas Vietnam, tetapi jauh di bawah Negara-negara
tetangga Asia Tenggara, dan bahkan di wilayah Srilanka. Korupsi juga menyebabkan
Negara ini pun mempunyai daya saing yang rendah, bahkan disbanding Negara
tetangganya di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Laporan World Competitiveness Report yang dirilis bulan mei 2005
menunjukkan, 60 negara yang disurvei Indonesia berada pada rangking yang ke-59
(setingkat dengan Venezuela).”
Dampak
sosial yang terjadi adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah dan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Masyarakat
cenderung memiliki partisipasi pasif daripada patrisipasi aktif, karena apabila
yang terjadi ketika masyarakat berpartisipasi aktif, pendapat mereka akan
memebentur meja kekuasaan yang sulit ditembus oleh masyarakat yang tidak
mempunyai kekuasaan, seperti yang disebutkan George (2006) bahwa perjuangan
mahasiswa di Trisakti, Semanggi dan tempat-tempat lainnya hanya bisa gigit
jari, sebab apa mereka perjuangan pada masa gerakan pro-reformasi tidak pernah
menjadi kenyataan. Sedangkan, partisipasi pasif yang memiliki kegiatan
melaksanakan dan menerima keputusan pemerintah ( Ramlan Subakti 2010).
Partisipasi tersebut merupakan partisipasi yang terjadi pada masa sekarang ini,
karena banyak masyarakat yang dikuasai oleh kekuasaan para pejabat tinggi negara
dan hanya bisa menerima.
Korupsi
pada masa sekarang ini terjadi karena kekuasaan yang berlebihan dan
keserakahan, hal tersebut ditegaskan oleh asumsi Lord Acton ( dikutip dari
Revrisond Baswir 2002) “kekuasaan memang cenderung untuk korup. Kekuasaan yang
berkuasa secara absolute, akan korup secara absolute pula.”
Penyebab
lain yang menjadi salah satu akar permasalahan Indonesia sebagai Negara
berkembang adalah kemiskinan Pope ( dikutip dari Riant dan Tri 2005). Kemiskinan
membuat pegawai pemerintah melakukan apapun untuk menambah penghasilan demi
menyelamatkan keluarganya (Riant dan Tri 2005). Kemiskinan membuat tindakan
korupsi menjadi hal lumrah bagi semua kalangan, kaya maupun miskin. Orang kaya
ingin tetap mempertahankan stratanya sedangkan orang miskin berusaha melakukan
mobilisasi dengan korupsi juga.
Kajian
Rifki Mina ( dikutip dari Riant dan Tri 2005) mengungkap bahwa pihak militer
Indonesia mempunyai bisnis yang memiliki kekayaan US$8. Sedangkan rakyat kecil
yang berada dikelas bawah tidak segan-segan menyuap pemerintah untuk
mendapatkan pelayanan dan pekerjaan. Contohnya adalah ketika seseorang ingin
melamar pekerjaan menjadi pegawai negeri sipil, ia tak bingung lagi kemana ia
harus menyuap agar dapat bekerja sebagai pegawai negeri.
Tindak
pidana korupsi di Indonesia telah mendapat peraturan perundang-undangan untuk
menindak lanjut dan mempidana pelanggar sebagai salah satu upaya pemberantasan
korupsi. Sejarahnya berawal dari dikeluarkannya UU nomor 24 Prp. 1960, kemudian
diperbaharui dan dikeluarkanlah UU nomor 3 tahun 1970 dan untuk memperkuat
undang-undang tersebut, dikeluarkan juga UU nomor 11 tahun 1980. Setelah itu
diperbaharui lagi menjadi UU nomor 31 tahun 1999 ( Romli Atmasasmita 2002).
Tetapi,
pembuatan perundang-undangan tidak cukup untuk memberantas korupsi tanpa adanya
ditegakkannya hukum secara adil. Hukum di Indonesia masih tumpul ke atas dan
tajam ke bawah. Contohnya, ketika Arlita Suryani terbukti melakukan korupsi dan
ia di pidana, tetapi didalam hotel bui diberi fasilitas yang mewah. Seharusnya
perlakuannya harus sama dengan narapidana yang lain ( I Pramono 2010).
Hukum
menjadi tajam kebawah ketika kasus menjerat rakyat kecil. Contoh kasusnya
adalah ketika tiga orang petani mencuri 12 ranting pohon mahoni milik
perhutani, mereke dilaporkan ke kepolisian dan langsung di tahan (Mahbub
Djunaidy 2013). Kasus tersebut sepele,
tetapi ketika sebuah kasus sepele dilakukan oleh rakyat kecil kasus tersebut
menjadi besar. Namun, kasus besar yang menjerat para pejabat tinggi bisa
dianggap sepele. Apabila pejabat melakukan korupsi hukum yang bertindak tidak
cepat tanggap, harus melalui sidang-sidang yang panjang. Bahkan, sering
terdakwa berdalih sakit apabila akan digelar sidang. Misalnya, kasus Sherly
yang berdalih sakit ketika akan disidang karena kasus korupsinya ( Yohanes Seo
2012). Hal tersebut menyebabkan ketidakadilan antara rakyat kecil dengan kaum
petinggi Negara. Maka dari itu hukum harus ditegakkan untuk memberantas
korupsi.
Memberantas
korupsi bukan hal yang mudah karena korupsi di Indonesia sudah terjadi secara
sistematis, meluas dan melembaga pada seluruh lapisan masyarakat baik
eksekutif, legislative dan yudikatif. Selain itu korupsi di Indonesia sudah
bukan lagi termasuk kejahatan yang biasa (ordinary
crime) tetapi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime). Sehingga, perlu upaya yang dilakukannya
pun harus dengan instrument hukum yang ekstra pula (ekstra ordinary legal instrument), selama peraturan tersebut masih
dapat berlaku secara legal dan universal ( M. Nur Kasim 2012).
Upaya
penegakkan hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya kesadaran dari masing-masing
individu bahwa korupsi merupakan sebuah nilai yang buruk dan merupakan sebuah
kejahatan.
Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan cara penanaman
nilai di dunia pendidikan baik secara formal maupun nor formal. Tentu saja
pendidikan anti korupsi harus diimbangi dari perilaku anti korupsi pendidiknya
dan lembaga pendidikannya sendiri. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara
penanaman nilai keagaaman yang lebih lagi pada tiap-tiap individu (Riant dan
Tri 2005).
Korupsi
di Indonesia merupakan salah satu penyakit yang paling berat yang dialami
Indonesia. Korupsi sudah berakar dan membudaya dari zaman orde lama, orde baru
hingga reformasi, untuk memberantasnya pun tidak semudah seperti membalikkan
telapak tangan.
Teori
teori Syed Hussein Alatas, William Chambliss, dan Milovan Djilas ( dikutip dari
George 2006) yang digunakan George untuk mengkategorikan korupsi pada rezim
Soeharto, korupsi dibagi menjadi tiga lapis. Korupsi lapis pertama adalah yang
meliputi interaksi langsung antara warga dan aparatur Negara, contohnya adalah
suap. Korupsi lapis kedua adalah lingkaran dalam pemerintahan yang meliputi
nepotisme, kronisme dan kelas baru. Korupsi lapis ketiga adalah korupsi
mengenai keputusan pembuatan kebijakan.
Pada
prinsipnya, korupsi itu seperti “air” mengalir kemana-mana dan tidak dapat
ditangkal dengan satu cara (Riant dan Tri 2005). Korupsi membutuhkan banyak
upaya yang ekstra untuk membersihkannya dari sistem birokrasi di Indonesia,
apalagi korupsi merupakan sebuah kasus tertua yang sudah ada sejak rezim rezim
sebelum reformasi bahkan korupsi sudah ada sejak zaman belanda menduduki
Indonesia. M. C. Ricklefs (2005) menyatakan J. Frederik Baron van Reede tot de
Parkeler, seorang residen Belanda di Surakarta, merupakan pejabat paling korup
sepanjang sejarah VOC, karena semua harta milik Mangkunegara II disita olehnya.
Berabad-abad
korupsi menjadi sebuah kasus yang meluas, hingga sekarang korupsi nampaknya
menjadi kasus yang mengerikan, namun, dianggap lumrah karena terlalu luasnya
dan terlalu biasanya orang melakukan tindak kejahatan berupa korupsi, hingga
nepotisme dan kolusi. Jika ditarik benang merah dari zaman penjajahan, orde
lama, dan orde baru, sampai reformasi korupsi seperti kebudayaan yang turun
temurun dari masa ke masa. Faktor penyebabnya pun hampir sama yaitu kekuasaan,
kemiskinan, dan keserakahan. Korupsi yang sudah menjadi hiasan yang biasa bagi
Indonesia sebisa mungkin harus segera diminimalisir dengan pencegahan-pencegahan
yang ekstra guna mewujudkan politik yang bersih dan adil.
Meskipun
korupsi juga tidak akan hilang bagi Negara-negara maju, kaya dan teknik
adsministrasinya sudah baik, seperti yang dinyatakan Giuseppe “Joetheboss”
Masseria (dikutip dari Riant dan Tri 2005) bahwa “no politician, no law can not be bought. Everybody has a price. Power,
money, women.” Tetapi, korupsi tetap
korupsi dan tetap merupakan sebuah kejahatan yang harus diperangi. Walaupun
pertempuran itu seperti berperang melawan Hydra,
ular dengan Sembilan kepala. Apabila satu kepala dipangkas, muncul dua kepala
baru, untuk mengalahkannya harus dengan cara Hercules yang membunuh langsung
Sembilan kepala Hydra (Riant dan Tri
2005).
Sesulit
apapun korupsi diberantas, masih ada cara untuk memberantasnya, masih ada sang
Hercules yang bisa mengalahkan Hydra
yang diibaratkan sebagai korupsi. Mungkin sekarang Hercules yang diibaratkan
KPK dan rakyat dewa Zeus sedang
berlatih untuk terus mencari cara agar menang berperang melawan sang Hydra. Hingga akhirnya, Hydra terkalahkan dan Dewa Zeus yang
diibaratkan Indonesia dapat sembuh dari bisa racun sang Hydra.
DAFTAR
PUSTAKA
Aditjondro,
George J, 2006, Korupsi Kemanusiaan
Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga : Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, Yogyakarta
: LKis Yogyakarta.
Atmasasmita,
Ramli, 2002, Strategi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia,Vol.1, pp. 2-3. http://www.jurnal.fhunla.ac.id.
Diakses tanggal 2 November 2013,
Baswir,
Revrisond, 2002, Dinamika Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Struktural,
Vol. 2, pp. 3. http://www.paramadina.ac.id.
Diakses tanggal 2 November 2013,
Binawan,
Al. Andang L, (Ed, 2006, Korupsi
Kemanusiaan, Jakarta : Penerbit Buku Kemanusiaan.)
Djunaidy,
Mazhub, 2013, Tiga Petani Ditahan Gara-gara Ranting Mahoni, Tempo 16 Januari
2013 diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/01/16/058454674/Tiga-Petani-Ditahan-Gara-gara-Ranting-Mahoni
tangga 2 November 2013.
M.
Kasim, Nur, 2012, Politik Hukum
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Vol. 9, pp. 10-11. http://www.ejurnal.ung.ac.id.
Diakses tanggal 2 November 2013,
Nugroho
D, Riant dan Tri Hanurita S, 2005, Tantangan
Indonesia, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Pramono,
I, Penjara Mewah Artalyta Terungkap Berkat Laporan Warga, Tempo 11 Januari 2010
diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2010/01/11/063218341/Penjara-Mewah-Artalyta-Terungkap-Berkat-Laporan-Warga
tanggal
2 November 2013
Ricklefs,
M.C, 2001, Sejarah Indonesia Modern
1200-2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.
Seo,
Yohanes, 2012, Terdakwa Korupsi Berdalih Sakit, Hakim Marah, Tempo 12 Juli 2012
diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/07/12/063416545/Terdakwa-Korupsi-Berdalih-Sakit-Hakim-Marah
tanggal 2 November 2013.
Surbakti,
Ramlan, 2012, Memahami Ilmu Politik,
Jakarta : PT Grasindo.
Usman,
Sunyoto, 2004, Sosiologi Sejarah, Teori
dan Metodelogi, Yogyakarta : CIRED.
Labels: Artikel Opini
0 Comments:
Post a Comment
Thanks All Buat Komentar Kalian. No Spam, No Sara, No etc.
"Best Moment, Best Blogging, Best actualities"
Blog Ini Dofollow, Jadi bijaklah dalam berkomentar
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home