Tuesday, September 15, 2015

Artikel opini


SUBALTERN DIBALIK RUU PILKADA TIDAK LANGSUNG
Oleh : Asti Katrina Alfiani
Abstrak
Bermacam-macam diskusi digelar untuk membuat program kesejahteraan rakyat . Namun nyatanya konsep yang dikatakan Chamber (dikutip dari Mikkelsen, 1995) bahwa kemiskinan adalah mereka yang memiliki pendapatan dan harta yang rendah, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan  masih menjamur di negara Indonesia raya ini. Anehnya lagi, fenomena belakangan yang muncul adalah elit pemegang hormat berdebat mengenai  RUU Pilkada tidak langsung yang cenderung merampas hak politik rakyat. Padahal menurut John Locke (dikutip dari Sujatmoko, 2009) bahwa hak politik termasuk ke dalam jenis hak asasi manusia selainhak ekonomi dan hak sosial. Undang-undang no. 12 tahun 2005  pun telah menjelaskan mengenai konvensi international yang mengesahkan bahwa hak-hak sipil dan hak politik merupakan hak dasar manusia.Kematian partisipasi rakyat ini dalam teori postkolonial bisa disebut sebagai kaum subaltern. Mengapa rakyat yang tidak memiliki akses untuk menyuarakan haknya termasuk ke dalam kaum subaltern?? Tulisan ini akan membahas bagaimana rakyat bisa menjadi kaum subalternkarena perilaku dari wakil rakyatnya.
Kata Kunci : Subaltern, RUU pilkada tidak langsung, Kekuasaan, Rakyat

 


PENGANTAR
Politik dalam perkembangannya kurang lebih memiliki lima pandangan, salah satu diantaraanya berbunyi bahwa "politik adalah segala sesuatu kegiatan yang diarahkanuntuk mencari dan memerthanakan kekuasaan"(Robson,dikutip dari Surbakti, 2010). Sejarah Indonesia menuliskan bahwa tanah ini telah beberapa kali mengalami guncangan politik, dari rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati, Gusdur, dan SBY. Setiap dinasti kepemimpinan pemegang kuasa negeri ini memiliki kasus-kasus politik yang menorehkan bekas luka cukup banyak atau bahkan begitu perih bagi rakyatnya. Ambil contoh kasus besar seperti kasus G30S/PKI, Pelengseran Soekarno, naiknya Soeharto sebagai pemegang tahta, kemudian reformasi pelengseran Soeharto, korupsi keluarga cendana  dan lain sebagainya (Ricklefs, 1991). Beberapa kasus tersebut hanya sekelebat bayangan contoh dibalik menumpuknya kasus-kasus politik yang telah lalu. Hal itu menunjukkan bahwa  berita terkait masalah-masalah penguasa tak pernah lepas dari permasalahan kekuasaan elit politik bumi nusantara ini.
Sekarang nampaknya kekuasaan masih menjadi topik hangat dipanggung politik Indonesia dan semakin rumit ceritanya. Dimasa transisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke pemerintahan Jokowi, timbul satu wajah baru lagi bagi anggota dewan yang katanya wakil rakyat. Wajah tersebut berupa topeng kegamangan wakil rakyat yang gagal menjadikan dirinya berperan sebagai wakil rakyat yang sejati. Beberapa pekan lalu, elit politik dengan jas safarinya baru saja melenggang dengan indah dikursi jabatan dalam sidang paripurna yang membahas Rancangan Undang-Undang ( RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak langsung. Sidang yang dipimpin oleh Budi Santoso sempat mengalami kericuhan yang luar biasa, para wakil yang katanya wakil rakyat itu bersorak sorai untuk rakyat (Sabarudin, 2014). Pro-kontra mengenai RUU Pilkada tidak langsung membuat riuh suasana di gedung DPR tempat para elit politik berdebat ala hutan rimba, saling saut menyaut, tak beraturan. Emosi, umpatan teriakan sorakan, gaduh tak terkira, saling menyepak terjang menjadikan rakyat sebagai objek pembicaraan. Namun, hanya sekedar objek diskusi, tak lebih dan tak berasal dari nurani. 
Bermacam-macam diskusi digelar untuk membuat program kesejahteraan rakyat . Namun nyatanya konsep yang dikatakan Chamber (dikutip dari Mikkelsen, 1995) bahwa kemiskinan adalah mereka yang memiliki pendapatan dan harta yang rendah, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan  masih menjamur di negara Indonesia raya ini. Anehnya lagi, fenomena belakangan yang muncul adalah elit pemegang hormat berdebat mengenai  RUU Pilkada tidak langsung yang cenderung merampas hak politik rakyat. Padahal menurut John Locke (dikutip dari Sujatmoko, 2009) bahwa hak politik termasuk ke dalam jenis hak asasi manusia selainhak ekonomi dan hak sosial. Undang-undang no. 12 tahun 2005  pun telah menjelaskan mengenai konvensi international yang mengesahkan bahwa hak-hak sipil dan hak politik merupakan hak dasar manusia.
Sejarah bercerita bahwa pada tahun 1974 Gubernur dan bupati dipilih langsung oleh presiden yang menjabat, yaitu Soeharto yang didampingi oleh DPR. Padahal UU. no. 1 tahu 1957 pasal 23 menerangkan pertimbangan bahwa kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat didaerahnya. Bukan orang yang dikenal orang pemerintah saja, namun keadaan berubah pada tahun 2004. Pada masa pemerintahan SBY, keluarlah UU no. 32 tahun 2004 mengenai  pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Setelah peristiwa itu justru negeri ini ingin kembali lagi ke peradaban yang dulu, setelah masyarakat mulai berkembang ke tahap yang lebih baik, sungguh ironi yang lucu. Konsep demokratisasi yang bertujuan untuk menyempurnakan struktur dan sistem menurut Hans Kelsen (dikutip dari Thalhah, 2009) seperti tidak berlaku.
Potongan cerita sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa ada kaum yang menjadi elit dan berkuasa dalam dunia politik seperti anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka digadang-gadang untuk merakyat . Tetapi mereka malah membabi buta mematikan partisipasi rakyat dalam pemilu dengan merancang undang-undang pilkada tidak langsung. Kematian partisipasi rakyat ini dalam teori postkolonial bisa disebut sebagai kaum subaltern. Mengapa rakyat yang tidak memiliki akses untuk menyuarakan haknya termasuk ke dalam kaum subaltern?? Tulisan ini akan membahas bagaimana rakyat bisa menjadi kaum subalternkarena perilaku dari wakil rakyatnya.
SUBALTERN DAN KEKUASAAN
Subaltern secara harfiah berarti 'peringkat yang lebih rendah'. Istilah itu mengandaikan arti penting yang khusus pada tidakan representasi diri yang memiliki tujuan untuk menguasai sistem utama    yang berlaku. Subaltern muncul karena adanya kolonialisme dan imperialisme yang dibungkus dengan wajah baru, bukan lagi dengan cara menjajah dengan kekerasan melainkan dengan bentuk hegemoni pemikiran (Walia, 2001).
Pengagas teori dari subalternadalah Spivak yang sebelumnya diperkenalkan oleh sorang filsuf bernama Antonio Gramsci. Konsep-konsep Gramsci mengenai subaltern pada mulanya membahas kelompok inferior yang terhegemoni oleh kelompok superior. Kelompok inferior yang menjadi subaltern adalah petani. Namun kemudian, lahirlah pemikir subaltern bernama Spivak, ia berasal dari India. Ia mencoba mengkaitkan konsep ini dengan studi post kolonial yang mengkaji mengenai hubungan identitas yang tidak pernah netral atau setara. Subaltern menurutnya muncul dimanapun, dari masa kolonial hingga postkolonial. Dalam konteks masyarakat luas sekarang, yang notabene telah memasuki era postkolonial, selalu ada ketimpangan hubungan terkait masalah gender, kelas sosial, etnis, agama dan golongan usia yang membuat kelompok satu dengan kelompok yang lain tidak memiliki akses yang sama. Seolah-olah muncul dua kelompok berseberangan, disisi kiri terdapat kelompok penguasa dan disisi kanan terdapat kelompok jelata.  Kelompok jelata inilah yang disebut subaltern. Dalam bukunya can the subaltern speak : speculation on the window sacrifice menjelaskan bahwa kelompok subaltern tidak mendedikasikan dirinya sebagai serikat, tetapi mendapat prasangka stereotip dari masyarakat luar yang menganggap bahwa mereka mereka memiliki pengetahuan diluar standar  masyarakat pada umumnya, sehingga menjadikan kelompok subaltern tertindas oleh label itu tanpa bisa melawan walau sebenarnya timbul keinginan untuk menentang. Kajian subaltern spivak diadopsi dari ide-ide Jacques Derida, Jacques Lacan dan Foucault terutama menyangkut hal relasi-relasi kekuasaan (Udasmoro, 2010).
 Foucault (dikutip dari Walia, 2003) bahwa pengetahuan hanya dimanfaatkan oleh agen-agen yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak yang dianggap benar terhadap masyarakat. Ia yakin bahwa implikasi dari pengetahuan dan kekuasaan mampu merekayasa segala hal menjadi alami dan normal walau sebenarya tidak demikian. Agen-agen tersebut merupakan kelompok minoritas yang memiliki pengetahun handal untuk memaksa dan mengatur masyarakat secara sismatis demi kepentingan dan tujuan pribadinya. Didalam praktik-praktik itu terdapat gagasan tentang pemaksaan dan penguatan dengan tujuan utama melegitimasi status quo atau rancangan proyek-proyek baru yang visinya adalah menaklukan atau menguasai. Proyek tersebut hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan tinggi, sedangkan mereka deangan pengetahuan rendah hanya akan menjadi subaltern karena keterbatasan akses dan kemampuan.
IMPERIALISME DALAM POLITIK
Kekuasaan dan politik ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Socrates bahwa politik itu kotor. Contohnya mengutip dari cerita Goenawan Mohammad dari catatan pinggir yang ditulis dikoran tempo yaitu perang saudara antara Pandawa dan Kurawa untuk memperebutkan kekuasaan yang menyebabkan Bisma, kakek mereka terbunuh ditangan cucunya sendiri. Cerita tersebut menggambarkan kotornya politik, karena keluarga yang memiliki aliran darah yang sama pun bisa  hancur gara dua hal tersebut.
Tujuan RUU Pilkada tidak langsung menurut teriakan dan pertengkaran wakil rakyat digedung DPR adalah untuk mengefisiensi waktu, meminimalisir politik uang dan kampanye hitam, serta mencegah adanya perpecahan diantara masyarakat.  "Atas nama Rakyat" yang diocehkan para anggota dewan, bisa jadi makna sebenarnya "Atas nama sri ratu" seperti rumusan peradilan rakyat (lembaga Ombuds) di negeri Belanda sana (Koespartono, 1973). Entahlah, itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari adanya RUU pilkada tidak langsung. Tetapi secara ideologis dan teoritis rancangan tersebut telah menyalahi aturan yang berlaku.
Secara ideologis partisipasi rakyat telah diinjak-injak hak politiknya, UU no 12 tahun 2005 dengan jelas menjelaskan itu.  Partisipasi rakyat yang ditimbulkan bisa menimbulkan dampak sistemis. Dampak tersebut berupa kecenderungan kembalinya arah kedaulatan bangsa ke masa Orde baru lagi. Mengapa demikian, sebab ketika gubernur dan bupati dipilih oleh DPR, otomatis orang-orang elitlah yang akan terus menguasai lingkaran setan kekuasaaan. Mustahil mereka mengambil dari rakyat yang bukan orang partai, pasti orang pilihan itu adalah orang partai. Bagi orang partai membutuhkan kedekatan dengan anggota DPR untuk dipilih, apa yang diperlukan ?? ya, uang. Uang diperlukan untuk menyumpal asumsi anggota dewan, politik uang justru semakin licin dan membengkak karena bukan lagi rakyat biasa hanya dengan recehan uang Rp 20.000 bisa disuap, melainkan elit-elit kaya yang tidak bisa disuap dengan nominal sesedikit itu. Ketika itu terjadi, rakyat menjadi semakin kerdil, rakyat tidak diberi kesempatan untuk memberi kontrol dan haknya bersuara karena mereka tidak punya akses dan kemampuan, seperti kaum subaltern. Kondisi ini mirip mirip dengan era orde baru bukan ? ketika mahasiswa selalu dibatasi pergerakannya, siapa yang berani melawan dan bersuara esoknya dijebloskan ke penjara bahkan hilang entah kemana, media yang mengungkit-ungkit kekuasaan presiden kala itu  akan dibredeli wartawannya dan akan ditutup produksinya (Fortunadi, 2014). Sudikah kita untuk kembali ke masa kelam ? tentu tidak.
Wakil rakyat kita mungkin telah lupa akan sejarah, lagi-lagi mereka justru mengeluarkan isu untuk kembali memilih presiden lewat MPR. Tidakkah mereka tau bahwa wakil rakyat dalam susunan kabinet Burhanuddin Harahap 2 yang hanya berumur beberapa bulan dimasa demokrasi terpimpin, telah bersusah payah menyusun program pemilu langsung presiden dan DPR pertama tahun 1950 ditengah situasi politik yang tidak stabil karena adanya partai parlemen dan oposisi yang berusaha saling menjatuhkan (Ritzer, 1991). Mungkin mereka benar-benar lupa. Teriakan lantang Soekarno "JAS MERAH" nampaknya juga tak dihiraukan. Padahal mereka selalu mengenakan jas-jas dengan harga melangit, tapi untuk apa jas yang mereka kenakan kalau jas bangsa sendiri mereka lupakan.
Sejarah penting negara sendiri saja lupa, apalagi rakyatnya yang bukan siapa-siapa. Rakyat hanya objek dari wakil rakyat  untuk membual kesejahteraan dari A sampai Z. Nyatanya, kemiskinan masih tinggi di indonesia, seperti yang ditunjukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2013 di kota dan desa sebanyak 28,07 Juta. Ditambah lagi RUU pilkada tidak langsung itu merampas hak rakyat untuk berpartisipasi, tetapi anggota dewan justru berteriak atas nama rakyat. Perilaku wakil rakyat yang demikian merupakan imperialisme, detailnya imperialisme jenis menundukkan segalanya. Mereka menggunakan segala cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri mereka sendiri tanpa mempedulikan objeknya yaitu rakyat. Imperialisme inilah yang membuat rakyat menjadi subaltern, karena rakyat hanya bisa mendongak dari depan layar kaca perilaku elit politiknya, berkomentar sesekali, tak bisa melakukan lebih.
Imperialisme yang kemudian hadir dalam ranah politik tidak sesuai dengan konsep filosofis Aristoteles yang melihat bahwa politik adalah asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan hajat orang seluruh anggota masyarakat (Surbakti, 2010).    Cacat sudah RUU Pilkada tidak langsung dari teori tersebut, apalagi indonesia merupakan negara demokrasi. Negeri ini seolah-olah hanya dimainkan oleh elit-elit politik yang terus menindas peran rakyat.
PENUTUP
Imperialisme kini hadir bukan hanya dari bangsa asing, bangsa sendiri pun kini mulai menjajah negerinya sendiri. Watak imperialis telah menggerogoti nurani elit politik, sehingga mereka lupa daratan. Semua dilibas dan ditebas, asal kaya hidup enak dan bahagia. Mungkin itu yang ada dibenak mereka, tidak peduli kanan kiri rakyata meronta meminta kesejahteraan. Kalau sudah seperti ini, kebenenaran pidato Soekarno yang kurang lebih berbunyi "Tugasku mudah karena hanya mengusir penjajah, tetapi tugas kalian akan lebih sulit karena harus melawan bangsamu sendiri" terbukti.





DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik di Indonesia, 2013, Jumlah Penduduk Miskin, Presentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013, diakses dari http://www.bps.go.id pada tanggal 19 Oktober 2014.
Fortunadi, Didik, 2014, Revolusi dari Secangkir Kopi, Bandung : PT Mizan Pustaka
Koespartono, 1971, Kekuasaan, Jakarta : Erlangga.
Mikkelsen, Britha, 1999, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya pemberdayaan : Sebuah Buku pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan, Jakarta : Yayasan Obor Indoesia.
Ricklefs, H.C., 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ritzer, George dan Douglas J. Doogman,  2008, Teori Sosiologi, Bantul : Kreasi Wacana.
Sabarudin, 2014, Sidang RUU Pillkada Rancu, Jurnat : Kamis, 25 September 2014  diakses dari www.m.jurnas.com pada tanggal 19 Oktober 2014.
Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM, http://law.uii.ac.id, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014.
Surbakti, Ramlan, 2001, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo.
Thalhah, H.M., 2009, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen,Vol. 16, No. 3, pp. 413-422, http://www.e-pushamuiii.org, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014.
Udasmoro, Wening, 2010, Discourse Subaltern dalam Masyarakat Interkultural Mencermati Relasi Gender Jilbab dan Perempuan Berjilbab di Prancis, Vol. 14, No. 1, pp. 1-22, http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014.
Walia, Shelley, 2001, Seni Posmodern : Edward Said  dan Penulisan Sejarah, Yogyakarta : Jendela.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Thanks All Buat Komentar Kalian. No Spam, No Sara, No etc.
"Best Moment, Best Blogging, Best actualities"
Blog Ini Dofollow, Jadi bijaklah dalam berkomentar

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home