Artikel opini
SUBALTERN
DIBALIK RUU PILKADA TIDAK LANGSUNG
Oleh
: Asti Katrina Alfiani
Abstrak
Bermacam-macam diskusi digelar
untuk membuat program kesejahteraan rakyat . Namun nyatanya konsep yang
dikatakan Chamber (dikutip dari Mikkelsen, 1995) bahwa kemiskinan adalah mereka
yang memiliki pendapatan dan harta yang rendah, kelemahan fisik, isolasi,
kerapuhan dan ketidakberdayaan masih
menjamur di negara Indonesia raya ini. Anehnya lagi, fenomena belakangan yang
muncul adalah elit pemegang hormat berdebat mengenai RUU Pilkada tidak langsung yang cenderung
merampas hak politik rakyat. Padahal menurut John Locke (dikutip dari Sujatmoko,
2009) bahwa hak politik termasuk ke dalam jenis hak asasi manusia selainhak
ekonomi dan hak sosial. Undang-undang no. 12 tahun 2005 pun telah menjelaskan mengenai konvensi
international yang mengesahkan bahwa hak-hak sipil dan hak politik merupakan
hak dasar manusia.Kematian partisipasi rakyat ini dalam teori postkolonial bisa
disebut sebagai kaum subaltern. Mengapa
rakyat yang tidak memiliki akses untuk menyuarakan haknya termasuk ke dalam
kaum subaltern?? Tulisan ini
akan membahas bagaimana rakyat bisa menjadi kaum subalternkarena perilaku dari wakil rakyatnya.
Kata Kunci :
Subaltern, RUU pilkada tidak langsung, Kekuasaan, Rakyat
PENGANTAR
Politik
dalam perkembangannya kurang lebih memiliki lima pandangan, salah satu
diantaraanya berbunyi bahwa "politik adalah segala sesuatu kegiatan yang
diarahkanuntuk mencari dan memerthanakan kekuasaan"(Robson,dikutip dari
Surbakti, 2010). Sejarah Indonesia menuliskan bahwa tanah ini telah beberapa
kali mengalami guncangan politik, dari rezim Soekarno, Soeharto, Habibie,
Megawati, Gusdur, dan SBY. Setiap dinasti kepemimpinan pemegang kuasa negeri
ini memiliki kasus-kasus politik yang menorehkan bekas luka cukup banyak atau
bahkan begitu perih bagi rakyatnya. Ambil contoh kasus besar seperti kasus
G30S/PKI, Pelengseran Soekarno, naiknya Soeharto sebagai pemegang tahta,
kemudian reformasi pelengseran Soeharto, korupsi keluarga cendana dan lain sebagainya (Ricklefs, 1991).
Beberapa kasus tersebut hanya sekelebat bayangan contoh dibalik menumpuknya
kasus-kasus politik yang telah lalu. Hal itu menunjukkan bahwa berita terkait masalah-masalah penguasa tak
pernah lepas dari permasalahan kekuasaan elit politik bumi nusantara ini.
Sekarang
nampaknya kekuasaan masih menjadi topik hangat dipanggung politik Indonesia dan
semakin rumit ceritanya. Dimasa transisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
ke pemerintahan Jokowi, timbul satu wajah baru lagi bagi anggota dewan yang
katanya wakil rakyat. Wajah tersebut berupa topeng kegamangan wakil rakyat yang
gagal menjadikan dirinya berperan sebagai wakil rakyat yang sejati. Beberapa
pekan lalu, elit politik dengan jas safarinya baru saja melenggang dengan indah
dikursi jabatan dalam sidang paripurna yang membahas Rancangan Undang-Undang (
RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak langsung. Sidang yang dipimpin oleh
Budi Santoso sempat mengalami kericuhan yang luar biasa, para wakil yang
katanya wakil rakyat itu bersorak sorai untuk rakyat (Sabarudin, 2014).
Pro-kontra mengenai RUU Pilkada tidak langsung membuat riuh suasana di gedung
DPR tempat para elit politik berdebat ala hutan rimba, saling saut menyaut, tak
beraturan. Emosi, umpatan teriakan sorakan, gaduh tak terkira, saling menyepak
terjang menjadikan rakyat sebagai objek pembicaraan. Namun, hanya sekedar objek
diskusi, tak lebih dan tak berasal dari nurani.
Bermacam-macam
diskusi digelar untuk membuat program kesejahteraan rakyat . Namun nyatanya
konsep yang dikatakan Chamber (dikutip dari Mikkelsen, 1995) bahwa kemiskinan
adalah mereka yang memiliki pendapatan dan harta yang rendah, kelemahan fisik,
isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan
masih menjamur di negara Indonesia raya ini. Anehnya lagi, fenomena
belakangan yang muncul adalah elit pemegang hormat berdebat mengenai RUU Pilkada tidak langsung yang cenderung
merampas hak politik rakyat. Padahal menurut John Locke (dikutip dari
Sujatmoko, 2009) bahwa hak politik termasuk ke dalam jenis hak asasi manusia
selainhak ekonomi dan hak sosial. Undang-undang no. 12 tahun 2005 pun telah menjelaskan mengenai konvensi international
yang mengesahkan bahwa hak-hak sipil dan hak politik merupakan hak dasar
manusia.
Sejarah
bercerita bahwa pada tahun 1974 Gubernur dan bupati dipilih langsung oleh
presiden yang menjabat, yaitu Soeharto yang didampingi oleh DPR. Padahal UU.
no. 1 tahu 1957 pasal 23 menerangkan pertimbangan bahwa kepala daerah adalah
orang yang dikenal baik oleh rakyat didaerahnya. Bukan orang yang dikenal orang
pemerintah saja, namun keadaan berubah pada tahun 2004. Pada masa pemerintahan
SBY, keluarlah UU no. 32 tahun 2004 mengenai
pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Setelah peristiwa itu justru negeri ini ingin kembali lagi ke peradaban yang
dulu, setelah masyarakat mulai berkembang ke tahap yang lebih baik, sungguh
ironi yang lucu. Konsep demokratisasi yang bertujuan untuk menyempurnakan
struktur dan sistem menurut Hans Kelsen (dikutip dari Thalhah, 2009) seperti
tidak berlaku.
Potongan
cerita sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa ada kaum yang menjadi elit dan
berkuasa dalam dunia politik seperti anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka
digadang-gadang untuk merakyat . Tetapi mereka malah membabi buta mematikan
partisipasi rakyat dalam pemilu dengan merancang undang-undang pilkada tidak
langsung. Kematian partisipasi rakyat ini dalam teori postkolonial bisa disebut
sebagai kaum subaltern. Mengapa rakyat yang tidak memiliki akses untuk
menyuarakan haknya termasuk ke dalam kaum subaltern?? Tulisan ini akan
membahas bagaimana rakyat bisa menjadi kaum subalternkarena perilaku
dari wakil rakyatnya.
SUBALTERN
DAN KEKUASAAN
Subaltern secara harfiah berarti
'peringkat yang lebih rendah'. Istilah itu mengandaikan arti penting yang
khusus pada tidakan representasi diri yang memiliki tujuan untuk menguasai
sistem utama yang berlaku. Subaltern muncul karena adanya
kolonialisme dan imperialisme yang dibungkus dengan wajah baru, bukan lagi
dengan cara menjajah dengan kekerasan melainkan dengan bentuk hegemoni
pemikiran (Walia, 2001).
Pengagas
teori dari subalternadalah Spivak yang sebelumnya diperkenalkan oleh
sorang filsuf bernama Antonio Gramsci. Konsep-konsep Gramsci mengenai subaltern pada mulanya membahas kelompok
inferior yang terhegemoni oleh kelompok superior. Kelompok inferior yang
menjadi subaltern adalah petani.
Namun kemudian, lahirlah pemikir subaltern
bernama Spivak, ia berasal dari India. Ia mencoba mengkaitkan konsep ini dengan
studi post kolonial yang mengkaji mengenai hubungan identitas yang tidak pernah
netral atau setara. Subaltern
menurutnya muncul dimanapun, dari masa kolonial hingga postkolonial. Dalam
konteks masyarakat luas sekarang, yang notabene telah memasuki era
postkolonial, selalu ada ketimpangan hubungan terkait masalah gender, kelas
sosial, etnis, agama dan golongan usia yang membuat kelompok satu dengan
kelompok yang lain tidak memiliki akses yang sama. Seolah-olah muncul dua
kelompok berseberangan, disisi kiri terdapat kelompok penguasa dan disisi kanan
terdapat kelompok jelata. Kelompok
jelata inilah yang disebut subaltern.
Dalam bukunya can the subaltern speak : speculation on the window sacrifice menjelaskan
bahwa kelompok subaltern tidak
mendedikasikan dirinya sebagai serikat, tetapi mendapat prasangka stereotip
dari masyarakat luar yang menganggap bahwa mereka mereka memiliki pengetahuan
diluar standar masyarakat pada umumnya,
sehingga menjadikan kelompok subaltern
tertindas oleh label itu tanpa bisa melawan walau sebenarnya timbul keinginan
untuk menentang. Kajian subaltern
spivak diadopsi dari ide-ide Jacques Derida, Jacques Lacan dan Foucault
terutama menyangkut hal relasi-relasi kekuasaan (Udasmoro, 2010).
Foucault (dikutip dari Walia, 2003) bahwa
pengetahuan hanya dimanfaatkan oleh agen-agen yang memiliki kekuasaan untuk
memaksakan kehendak yang dianggap benar terhadap masyarakat. Ia yakin bahwa
implikasi dari pengetahuan dan kekuasaan mampu merekayasa segala hal menjadi
alami dan normal walau sebenarya tidak demikian. Agen-agen tersebut merupakan
kelompok minoritas yang memiliki pengetahun handal untuk memaksa dan mengatur
masyarakat secara sismatis demi kepentingan dan tujuan pribadinya. Didalam
praktik-praktik itu terdapat gagasan tentang pemaksaan dan penguatan dengan
tujuan utama melegitimasi status quo atau rancangan proyek-proyek baru
yang visinya adalah menaklukan atau menguasai. Proyek tersebut hanya dapat
dikerjakan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan tinggi, sedangkan mereka
deangan pengetahuan rendah hanya akan menjadi subaltern karena keterbatasan akses dan kemampuan.
IMPERIALISME DALAM POLITIK
Kekuasaan
dan politik ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ada benarnya juga apa yang
dikatakan oleh Socrates bahwa politik itu kotor. Contohnya mengutip dari cerita
Goenawan Mohammad dari catatan pinggir yang ditulis dikoran tempo yaitu perang
saudara antara Pandawa dan Kurawa untuk memperebutkan kekuasaan yang
menyebabkan Bisma, kakek mereka terbunuh ditangan cucunya sendiri. Cerita
tersebut menggambarkan kotornya politik, karena keluarga yang memiliki aliran
darah yang sama pun bisa hancur gara dua
hal tersebut.
Tujuan
RUU Pilkada tidak langsung menurut teriakan dan pertengkaran wakil rakyat
digedung DPR adalah untuk mengefisiensi waktu, meminimalisir politik uang dan
kampanye hitam, serta mencegah adanya perpecahan diantara masyarakat. "Atas nama Rakyat" yang diocehkan
para anggota dewan, bisa jadi makna sebenarnya "Atas nama sri ratu"
seperti rumusan peradilan rakyat (lembaga Ombuds) di negeri Belanda sana
(Koespartono, 1973). Entahlah, itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang timbul
dari adanya RUU pilkada tidak langsung. Tetapi secara ideologis dan teoritis
rancangan tersebut telah menyalahi aturan yang berlaku.
Secara
ideologis partisipasi rakyat telah diinjak-injak hak politiknya, UU no 12 tahun
2005 dengan jelas menjelaskan itu.
Partisipasi rakyat yang ditimbulkan bisa menimbulkan dampak sistemis.
Dampak tersebut berupa kecenderungan kembalinya arah kedaulatan bangsa ke masa
Orde baru lagi. Mengapa demikian, sebab ketika gubernur dan bupati dipilih oleh
DPR, otomatis orang-orang elitlah yang akan terus menguasai lingkaran setan
kekuasaaan. Mustahil mereka mengambil dari rakyat yang bukan orang partai,
pasti orang pilihan itu adalah orang partai. Bagi orang partai membutuhkan
kedekatan dengan anggota DPR untuk dipilih, apa yang diperlukan ?? ya, uang.
Uang diperlukan untuk menyumpal asumsi anggota dewan, politik uang justru semakin
licin dan membengkak karena bukan lagi rakyat biasa hanya dengan recehan uang
Rp 20.000 bisa disuap, melainkan elit-elit kaya yang tidak bisa disuap dengan
nominal sesedikit itu. Ketika itu terjadi, rakyat menjadi semakin kerdil,
rakyat tidak diberi kesempatan untuk memberi kontrol dan haknya bersuara karena
mereka tidak punya akses dan kemampuan, seperti kaum subaltern. Kondisi ini mirip mirip dengan era orde baru bukan ?
ketika mahasiswa selalu dibatasi pergerakannya, siapa yang berani melawan dan
bersuara esoknya dijebloskan ke penjara bahkan hilang entah kemana, media yang
mengungkit-ungkit kekuasaan presiden kala itu
akan dibredeli wartawannya dan akan ditutup produksinya (Fortunadi,
2014). Sudikah kita untuk kembali ke masa kelam ? tentu tidak.
Wakil
rakyat kita mungkin telah lupa akan sejarah, lagi-lagi mereka justru
mengeluarkan isu untuk kembali memilih presiden lewat MPR. Tidakkah mereka tau
bahwa wakil rakyat dalam susunan kabinet Burhanuddin Harahap 2 yang hanya
berumur beberapa bulan dimasa demokrasi terpimpin, telah bersusah payah
menyusun program pemilu langsung presiden dan DPR pertama tahun 1950 ditengah
situasi politik yang tidak stabil karena adanya partai parlemen dan oposisi
yang berusaha saling menjatuhkan (Ritzer, 1991). Mungkin mereka benar-benar
lupa. Teriakan lantang Soekarno "JAS MERAH" nampaknya juga tak
dihiraukan. Padahal mereka selalu mengenakan jas-jas dengan harga melangit,
tapi untuk apa jas yang mereka kenakan kalau jas bangsa sendiri mereka lupakan.
Sejarah
penting negara sendiri saja lupa, apalagi rakyatnya yang bukan siapa-siapa.
Rakyat hanya objek dari wakil rakyat
untuk membual kesejahteraan dari A sampai Z. Nyatanya, kemiskinan masih
tinggi di indonesia, seperti yang ditunjukan oleh Badan Pusat Statistik
Indonesia bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2013 di
kota dan desa sebanyak 28,07 Juta. Ditambah lagi RUU pilkada tidak langsung itu
merampas hak rakyat untuk berpartisipasi, tetapi anggota dewan justru berteriak
atas nama rakyat. Perilaku wakil rakyat yang demikian merupakan imperialisme,
detailnya imperialisme jenis menundukkan segalanya. Mereka menggunakan segala
cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri mereka sendiri tanpa
mempedulikan objeknya yaitu rakyat. Imperialisme inilah yang membuat rakyat
menjadi subaltern, karena rakyat
hanya bisa mendongak dari depan layar kaca perilaku elit politiknya,
berkomentar sesekali, tak bisa melakukan lebih.
Imperialisme
yang kemudian hadir dalam ranah politik tidak sesuai dengan konsep filosofis
Aristoteles yang melihat bahwa politik adalah asosiasi warga negara yang
berfungsi membicarakan hajat orang seluruh anggota masyarakat (Surbakti,
2010). Cacat sudah RUU Pilkada tidak
langsung dari teori tersebut, apalagi indonesia merupakan negara demokrasi.
Negeri ini seolah-olah hanya dimainkan oleh elit-elit politik yang terus
menindas peran rakyat.
PENUTUP
Imperialisme
kini hadir bukan hanya dari bangsa asing, bangsa sendiri pun kini mulai
menjajah negerinya sendiri. Watak imperialis telah menggerogoti nurani elit
politik, sehingga mereka lupa daratan. Semua dilibas dan ditebas, asal kaya
hidup enak dan bahagia. Mungkin itu yang ada dibenak mereka, tidak peduli kanan
kiri rakyata meronta meminta kesejahteraan. Kalau sudah seperti ini, kebenenaran
pidato Soekarno yang kurang lebih berbunyi "Tugasku mudah karena hanya
mengusir penjajah, tetapi tugas kalian akan lebih sulit karena harus melawan
bangsamu sendiri" terbukti.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Pusat Statistik di Indonesia, 2013, Jumlah Penduduk Miskin, Presentase
Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013, diakses dari http://www.bps.go.id pada tanggal 19 Oktober 2014.
Fortunadi,
Didik, 2014, Revolusi dari Secangkir Kopi, Bandung : PT Mizan Pustaka
Koespartono,
1971, Kekuasaan, Jakarta : Erlangga.
Mikkelsen, Britha, 1999, Metode
Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya pemberdayaan : Sebuah Buku pegangan
Bagi Para Praktisi Lapangan, Jakarta : Yayasan Obor Indoesia.
Ricklefs,
H.C., 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Ritzer,
George dan Douglas J. Doogman, 2008,
Teori Sosiologi, Bantul : Kreasi Wacana.
Sabarudin,
2014, Sidang RUU Pillkada Rancu, Jurnat : Kamis, 25 September 2014 diakses dari www.m.jurnas.com pada tanggal 19
Oktober 2014.
Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan Kontroversi HAM, http://law.uii.ac.id,
diakses pada tanggal 14 Oktober 2014.
Surbakti,
Ramlan, 2001, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Grasindo.
Thalhah, H.M., 2009, Teori
Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen,Vol.
16, No. 3, pp. 413-422, http://www.e-pushamuiii.org,
diakses pada tanggal 14 Oktober 2014.
Udasmoro,
Wening, 2010, Discourse Subaltern dalam
Masyarakat Interkultural Mencermati Relasi Gender Jilbab dan Perempuan
Berjilbab di Prancis, Vol. 14, No. 1, pp. 1-22, http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id, diakses
pada tanggal 14 Oktober 2014.
Walia,
Shelley, 2001, Seni Posmodern : Edward Said
dan Penulisan Sejarah, Yogyakarta : Jendela.
Labels: Artikel Opini
0 Comments:
Post a Comment
Thanks All Buat Komentar Kalian. No Spam, No Sara, No etc.
"Best Moment, Best Blogging, Best actualities"
Blog Ini Dofollow, Jadi bijaklah dalam berkomentar
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home